Gie,Sebuah Kisah tentang Inspirasi



"hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya "tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
'terimalah dan hadapilah"
Aku awali tulisanku dengan sebuah kutipan puisi milik Soe HOk Gie, Mandalawangi - pangrango.Aku tak tahu pasti kapan aku pertama kali membaca puisi itu? Yang pasti sudah lebih dari puluhan kali membaca puisi itu. Karena baris – baris kata yang dituliskan Soe Hok Gie, begitu menginspirasiku. Aku jadi lebih ingin mengenal akan alam, akan keindahan tebing – tebing curam.
Soe Hok Gie, mungkin banyak dari generasi muda kini yang tak mengenal siapa Soe Hok Gie. Tapi yang jelas bagiku Soe Hok Gie atau Gie adalah sosok yang penuh inspirasi.
Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djin yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman.
Soe Hok Gie kecil dikenal senang membaca, dia bersama kakaknya Soe Hok Djin sering berkunjung ke perpustakaan umum dan taman bacaan di pinggiran jalan. Sejak Sekolah Dasar (SD) Gie sudah senang membaca karya – karya sastra yang serius. Satu diantaranya milik Pramoedya Ananta Noer, mungkin darah sang ayah yang seorang penulis membuatnya dekat dengan dunia sastra.
Selepas Sekolah Dasar (SD) gie melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada didaerah Gambir. Sedangkan sang kakak Soe Hok Djin (Arief Budiman) memilih melanjutkan di Kanisius. Dibangku SMP inilah konon Soe Hok Gie mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya : “ Cerita Dari Blora “ yang pada saat itu amatlah langka. Di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Soe Hok Gie bukanlah murid yang menonjol. Bahkan pada kelas dua prestasi Soe Hok Gie amatlah buruk, bahkan Gie diharuskan mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.
Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam. Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.
Soe Hok Gie dan sang kakak Hok Djin, berhasil menyelesaikan pendidikan di SMA dengan nilai terbaik. Dan kemudian mereka berdua melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia. Sang kakak Hok Djin memilih masuk fakultas psikologi, sedangkan Gie memilih masuk fakultas sastra sejarah.
Dimasa kuliah inilah pemikiran Gie semakin berkembang. Gie aktif menjadi aktivis kemahasiswaan. Dan banyak yang meyakini bahwa Gie adalah satu penggerak yang mengakibatkan runtuhnya rezim Soekarno. Dan Gie adalah termasuk orang pertama yang lantang mengkritik rezim orde baru. Gie merasa kecewa dengan teman – temannya, pada masa demontrasi tahun 1966. Mereka lantang mengkritisi dan menguntuk pejabat – pejabat pemerintahan, namun setelah mereka lulus justru mereka berbalik memihak kesana dan lupa akan visi misi mereka dahulu.
Bukan hanya aktif mengkritisi ketidakadilan rezim pemerintahan pada saat itu, Gie juga menunjukkan kecintaannya pada alam. Ini dibuktikan dengan keikut setrtaannya dalam pembentukkan MAPALA UI (Mahasiswa Pencinta Alam UI). Gie sempat memimpin ekspedisi pendakian gunung Slamet 3.442mpdl di Purwokerto Jawa Tengah. Dan dia sempat mengutip kata – kata Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”. Bukan hanya itu, semua pemikiran – pemikirannya tentang hidup, tentang kemanusiaan, tentang cinta dan kematian dituliskannya didalam buku hariannya. Bahkan saya sempat memabaca salah satu dari tulisannya. “Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Setelah lulus Gie memilih untuk mengabdikan diri menjadi dosen di Universitas Indonesia, almamaternya dulu. Dan bersama MAPALA UI Gie berencana untuk melakukan pendakian puncak Mahameru yang sering disebut puncak abadi para dewa, gunung Semeru 3.676mpdl di Jawa Timur. Saat itu banyak yang bertanya mengapa meti naik gunung dan dengan bahasanya Gie berkata pada teman - temannya ;
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Soe Hok Gie sempat menuliskan tentang firasatnya sebelum berangkat menuju Semeru. “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Gie yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), berikut beberapa kisah yang mewarnai tragedi tersebut yang saya kutip dari Intisari :
Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.
Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru). Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil. “Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang. Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.
Jasad Soe Hok Gie sempat menjadi rebutan. 24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Pada tahun 1975, Ali Sadikin yang menjadi gubernur Jakarta kala itu membongkar makamnya. Namun pihak keluarga menolaknya. Dan pada saat itu beberapa teman Soe Hok Gie sempat ingat pesan Soe Hok Gie. Bahwa jika ia meninggal sebaiknya jasadnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Oleh seba itulah tulang belulang Soe Hok Gie kemudian dikumpulkan dan dikremasi, untuk kemudian abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
"hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya "tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar 'terimalah dan hadapilah “

Leksono, 02 Mei 2011

0 Response to "Gie,Sebuah Kisah tentang Inspirasi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel